Saturday, October 27, 2012

From Paris With Love: O-esyiki


Minggu lalu saya berkesempatan mengikuti perayaan O-esyiki (upacara peringatan moksyanya Buddha Nichiren Daisyonin, upacara tahunan terpenting bagi umat Nichiren Syosyu di seluruh dunia) di kuil Shingyoji di Prancis. Berikut adalah kesan saya selama upacara dan perbandingannya dengan upacara yang diadakan di Indonesia.

18 Okt 2012 – Tiba di Paris

Berhubung hanya ada dua kuil di Eropa, yaitu di Prancis dan Spanyol, semua umat di sini “harus berkelana” ke salah satu kuil untuk mengikuti upacara yang dipimpin oleh Bhikkhu. Kemudian saya tahu dari salah satu umat Prancis bahwa Bhikkhu pimpinan kuil di Spanyol sedang sakit dan sudah kembali ke Jepang. Praktis, seluruh umat di Eropa hanya punya satu pilihan.

Saya dan seorang teman dari Medan memutuskan untuk berangkat dari Berlin menggunakan budget airline. Maklum, kami hanyalah mahasiswa dengan pendapatan pas-pasan. Perjuangan saya sendiri diwarnai dengan denda sekitar 40 Euro ketika ingin mencari tahu letak bandara. Pelajaran: kalau memang jodoh saya harus menghabiskan uang sejumlah tertentu, tidak ada cara untuk menghindarinya.

Kuil Shingyoji terletak di 25 Rue Carnot, Montreuil, Prancis. Montreuil adalah daerah pinggiran kota Paris, bejarak sekitar tujuh kilometer dari pusat kota. Kami sengaja mencari hotel yang dekat dengan kuil. Alasannya, lebih praktis dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 10-15 menit.

20 Okt 2012 – Upacara Ottaya

Karena acara gongyo sore diadakan pada pukul 15:00, kami pun mengarah ke kuil sekitar satu jam sebelumnya, setelah makan siang di daerah pecinan Paris. Dari statsiun terdekat, Croix de Chavaux – M9, kami harus berjalan mencari lokasi kuil. Untunglah kami punya peta di tangan dan dengan bantuan Google Map, kami berhasil menemukan kuilnya.

Melihat bentuk kuil di Prancis, gambaran saya tentang kuil agak terganggu karena kuil-kuil di Indonesia dan Jepang yang pernah saya lihat rata-rata berupa bangunan besar dengan ornamen-ornamen khas kuil seperti bentuk atap dan ukiran-ukiran. Kuil di Prancis terlihat seperti rumah penduduk lainnya: dua tingkat, berpagar dan bergarasi. Ketika melihat gambar kuil melalui Google Map, saya agak ragu sebenarnya. Tapi ketika tiba di tempat dan bertemu dengan orang-orang yang ramah dengan sapaan “Bonjour”, saya yakin bahwa kami tidak salah lokasi.

Di meja resepsionis, kami harus mendaftar ulang dan menitipkan jaket atau tas kepada penerima tamu. Umat tidak membayar untuk mengikuti upacara seperti di Indonesia, karena di sini tidak disediakan penginapan dan makanan berat. Juga tidak ada acara pertemuan atau kesenian seperti di Indonesia.
Ruangan gongyo terletak di lantai tiga. Sayang sekali, gongyo telah dimulai ketika kami tiba sehingga harus puas duduk di lantai dua dengan menonton dari televisi kecil yang disediakan.

Selesai gongyo dan sambil menunggu upacara Ottaiya pada pukul 16:30, kami pun berkenalan dan mengobrol dengan umat-umat dari negara-negara lain di Eropa. Sebuah pengalaman menarik bertemu dengan orang-orang yang percaya hukum agama Buddha di negara-negara yang didominasi agama Kristen. Kemudian saya tahu bahwa ada sekitar 200an umat dari Prancis, Austria, Belgia, Jerman, Italia, Serbia, Spanyol dan Swiss yang turut hadir dalam perayaan O-syiki kali ini.

Sekitar 15 menit sebelum upacara dimulai, panitia memberitahukan peserta untuk segera memasuki ruangan gongyo. Umat di sini agaknya lebih tertib dan teratur karena dalam sekejap, taman di belakang kuil yang tadinya ramai tiba-tiba menjadi lengang.

Saya pun naik ke atas, memasuki ruangan gongyo yang berukuran sekitar 4x10 meter. Tidak seperti di Indonesia, umat di sini berdoa dengan duduk di kursi panjang yang disusun berderet. Tiba-tiba saya teringat dengan vihara di Medan. Ruangannya cukup besar namun umatnya sering mengeluh viharanya terlalu kecil dan tidak terjaga.

Sekitar 100 orang mengikuti upacara Ottaiya. Ada yang datang sendiri, bersama pasangan atau keluarga. Melihat umat-umat yang semangat, saya jadi malu sendiri karena jarang gongyo di rumah.
Upacara harus dilakukan dua kali karena ruangan tidak cukup untuk menampung semua umat yang hadir. Karena tidak ada acara lain setelah itu, kami pun pulang sementara umat lain mengikuti upacara shift kedua.

21 Okt 2012 – Gongyo Pagi, Upacara O-esyiki dan makan siang

Gongyo pagi dimulai pukul 8:00. Karena bangun agak telat, kami harus buru-buru berjalan kaki tanpa sarapan terlebih dahulu. Untunglah kami tiba tepat waktu. Selesai gongyo, kami disuguhkan teh atau kopi.

Upacara O-esyiki shift pertama diadakan pukul 10:00. Kami mendapat shift kedua yang diadakan pada pukul 11:30. Sambil menunggu, umat berpindah ke bangunan di seberang sambil menonton video Tozan Umat Luar Negeri 2009. Karena rasa lapar yang tak tertahankan, saya memutuskan untuk keluar sambil mencari sarapan dan melihat daerah sekitar kuil dan berhenti di sebuah kedai kopi sambil mengamati kegiatan orang-orang di pasar tradisional Prancis.

Saya kembali ke kuil untuk mengikuti upacara, yang lebih kurang sama dengan upacara di Indonesia. Yang saya rindukan dari upacara di Indonesia adalah acara salam-salaman dan cipika-cipiki sembari mengucapkan “Selamat O-esyiki”. Sepertinya itu memang budaya khas Indonesia.

Selesai upacara, umat-umat berpindah ke gedung sebelah yang lebih besar untuk acara makan siang. Sepertinya gedung itu memang sering digunakan untuk acara lain seperti acara kesenian atau pemutaran film. Sambil menunggu, umat-umat bisa menonton video atau melihat galeri foto kegiatan umat Prancis. Sekali lagi, saya terkesima dengan keseriusan umat-umat di sini dalam melaksanakan hati kepercayaan.

Sekitar pukul 13:00, Y.A. Nakano, pemimpin kuil Shingyoji yang juga pernah bertugas beberapa tahun di Indonesia, memasuki ruangan. Seperti di Indonesia, umat-umat sangat antusias untuk mengobrol atau berfoto bersama. Umat-umat Indonesia yang sudah tinggal di Eropa pun tidak ketinggalan.

Salah satu hal yang menarik di sini dan tidak saya temukan di Indonesia adalah acara kan-pai atau bersulang. Setiap umat mendapat segelas kecil wine dan Y.A. Nakano membuka acara makan siang dengan memimpin kan-pai. Menu makanan juga khas Eropa: salad, keju, daging ayam, sejenis bruschetta (potongan roti dengan topping) dan cocktail snack. Acara makan siang seperti acara standing party. Umat mengambil makanan dan mengobrol sambil minum atau makan. Saya sendiri minum sekitar empat gelas kecil wine dan segelas kecil liquor sampai sedikit mabuk.

Pukul 16:30 diadakan gongyo sore dan pembagian bunga sakura kertas. Umat-umat pun pulang sembari menggenggam setangkai panjang bunga sakura berwarna merah jambu. Khas  O-esyiki. Ada beberapa umat yang ditanya warga sekitar tentang bunga tersebut dan mereka dengan senang hati menjelaskan tentang Buddhisme. Umat-umat pun kembali ke hotel atau langsung kembali ke negara masing-masing.

Selamat O-esyiki.
Foto bersama Y.A. Nakano, Vera Kusuma, Stephen dan Kirana