Saturday, January 14, 2012

Segede Bagong Tingkat Dewa


Yeehaa….

Akhirnya, setelah sekian lama, aku memutuskan untuk menulis dalam bahasa keduaku, bahasa Indonesia tercinta (bahasa pertama, tentu saja Hokkian, sebagai keturunan Tionghua yang tinggal di Medan). Setelah melihat-lihat blogku, aku terhenyak karena hampir tidak ada tulisan dalam bahasa Indonesia. (What a shame! - abaikan)

Okay, Indonesian fellas (Haduh, otakkku, stop thinking in English!, - English brain: Ay, ay, Captain!)
Pagi ini, status (dan komentar-komentar di bawahnya) seorang teman di BukuWajah memberi ide untuk mulai menulis. Selagi masih pagi dan belum ada teman sekamar yang bangun, aku pun menulis (lebay!)

Oke (baca: baiklah). Statusnya berbunyi kurang lebih sebagai berikut :
“baru mengerti mengapa ibuku menyuruhku membawa tas segede bagong. Ternyata dia mau menitip barang yang lebih gede dari bagong.”
Temannya  bertanya, “bagong itu apa?”
Teman yang lain berkomentar, “bagong itu pig”
Teman pertama membalas, “loh, bukannya kodok ya?”

Haduh…. Tiba-tiba muncul pemikiran, seberapa sering kita pakai istilah gaul tanpa memahami asal-usul istilah tersebut (atau paling tidak memahami alasan kata-kata tertentu dipakai dalam bahasa gaul). Meskipun aku bukan pakar bahasa gaul (apalagi bahasa tak gaul), tapi aku berusaha mencari tahu supaya tidak terjadi salah pemakaian (pada konteks yang salah, atau penjelasan yang salah)

Oke (baca: baiklah). Mari kita tilik istilah “segede bagong” atau “segede gaban” (ini juga lumayan populer).

Gede = besar (dalam bahasa Betawi/Jawa) dan itu sudah lazim dipakai.

Mari kita tilik kata Bagong. Bagong bukan babi ataupun kodok, melainkan tokoh wayang. Ingat Petruk dan Gareng? Atau ingat acara Aneka Ria setiap hari Minggu di TVRI? (kalau ingat, sadar umur). Yep, Bagong adalah salah satu tokoh punakawan dalam wayang. Ciri fisiknya digambarkan sebagai bertubuh bulat dan besar. Bandingkan dengan Petruk yang cungkring. Mungkin ukuran tubuh yang hampir sama adalah Semar.  

Sementara itu, Gaban merupakan tokoh polisi robot dalam film “Space Cop Gavan/Gaban” (sedikit penjelasan, bahasa Jepang punya bunyi pengucapan terntentu yang tidak terpenuhi dalam pengucapan bahasa lain. Contohnya: vegetarian akan dibaca [bejitarian] atau Luffy dalam komik One Piece akan tertulis [Ruffy] dalam komik aslinya). Bagi mereka yang berusia remaja pada era 80’an 90’an, film Gaban sangat populer. Sekali lagi, Gaban digambarkan sebagai robot yang bisa menjadi raksasa (semoga aku masih ingat filmnya…)

Jadi, istilah “segede bagong/gaban” merupakan hiperbola, bahwa objek yang dimaksud memiliki ukuran yang besar luar biasa seperti ukuran Bagong atau Gaban. Mungkin lain kali, kita bisa menggunakan istilah “segede Monas” atau “segede Power Rangers” atau supaya terkesan lebih gaul: “segede Hagrid”.

Istilah lain yang juga sempat populer di dunia per-BukuWajah-an atau Pengicau (baca: Twitter) atau juga KurirBeriHitam adalah  “…. tingkat dewa.” (isi titik-titik dengan segala kata sifat yang terpikir).

Karena biasanya situs sosial berfungsi sebagai pelampiasan emosi negatif, maka status-status yang bertaburan juga biasanya menggunakan kata sifat negatif. Seperti: lapar/marah/sebel/bingung/emosi/kecewa/… tingkat dewa. Kemudian, seorang teman (ya, jangan tanya berapa banyak teman yang aku punya) berkomentar seperti ini: “capek aku lihat semua yang berakhiran tingkat dewa. Kalau dewa bisa marah, ga disebut dewa lagi.” Ups!

Oke (baca: baiklah). Mari kita tilik. Semua orang percaya bahwa dewa memiliki kemampuan lebih di atas manusia. Mungkin hampir semua manusia (yang mengenal kata dewa) ingin menjadi dewa. Namun, apakah dewa itu sesuatu yang sempurna? Tentu tidak (baca dengan gaya iklan obat cacing). Dewa-dewa dalam cerita Yunani kuno juga memiliki keburukan seperti manusia. Bahkan dewa-dewa dalam cerita di ktiab suci juga tidak sempurna (Lucifer, dkk). Dewa-dewa dalam cerita Tiongkok kuno juga tidak sempurna (lihat saja Panglima Tian Feng alias Ti Pat Kay). Namun, mereka semua memiliki persamaan : lebih hebat dari manusia.

Jadi, istilah tingkat dewa merupakan hiperbola bahwa tingkatan kata sifat yang dipakai melebihi tingkatan yang bisa ditahan oleh manusia. Tentu saja, istilah tersebut bisa dimodifikasi. Seorang teman menggunakan isitilah “tingkat nasional” yang lebih mudah dicerna. Lapar tingkat nasional berarti rasa laparnya tidak main-main lagi, sudah tingkat nasional.

Istilah berikut mungkin hanya diketahui segelintir orang karena setahuku istilah ini hanya digunakan dalam bahasa Hokkian dan ketika aku menggunakannya dalam bahasa Indonesia, teman dari daerah lain bertanya-tanya…. Mungkin percakapan berikut bisa menggambarkan situasi yang aku hadapi

Teman( sebut saja Tulang) : “Aduh, kepalaku sakit, nih.”
Aku : “Hah? Biasa aja kalee…”
Tulang: “Aduh, beneran aku ga bisa tahan lagi deh. Sakit bangeeeeetttt….”
Aku: “Walah, lebih sakit ga punya kepala tahu…”
Tulang: “Ih, apa sih???”

Oke (baca: baiklah). Tidak ada penjelasan asal usul kata di sini dan tidak ada hiperbola, melainkan sarkasme (lupa arti kata ini? Tanya guru bahasa Indonesia ya). Kadang-kadang orang mengeluh tentang sesuatu yang biasa saja. Sakit kepala. Yep. Seberapa sakit, sih? Kalau masih bisa jalan sana-sini, makan, masak dan kawan-kawan, ya masih bisa ditahan bukan. Daripada mengeluh terus, mending makan obat, istirahat, supaya sakitnya sembuh. Jadi, buat mereka yang suka mengeluh sakit kepala, misalnya, bayangkan mereka yang tidak punya kepala, tidak punya perut…. (amit-amit jabang orok – ada yang tau penjelasan istilah ini?)

Wah…. Ternyata saya lebih lancar berbacot dan mengetik dalam bahasa keduaku ini. Tiga halaman dalam waktu 50 menit! Beneran ukuran segede gaban tingkat dewa....